Mi ? aku baru sadar, setelah sekian hari ini.
Kenapa aku masih bersemangat dengan toples tabunganku. Toples plastic yang aku
isi setiap hari dengan lembaran maupun koin rupiah, lalu aku setorkan kepada
petugas bank yang mangkal disekitar rumah setiap kamis pagi. Tak terasa sudah
hampir 3 tahun, Mi!
Aku teringat kapan pertama aku bertemu toples
itu. Itu adalah hari kamis, tepatnya adzan Isya, setelah menjemputmu di tempat
les kala itu. Hari itu hujan cukup deras, hingga membuat kita basah kuyup.
Maklum, tanpa menggunakan payung atau mantel, kita nekat berkendara di bawahnya
hanya bermodal jaket kain yang tidak terlalu tebal.
Satu hal yang cukup menggelikan adalah wajahmu
yang tiba-tiba berubah merah karena marah. Marah karena aku yang melepas
jaketku di tengah hujan lebat itu.
Rupanya kamu terlalu menghawatirkanku. Tapi,
kamu tak paham, betapa berat jaketku, yang sudah basah lagi menahan angin dari
laju kendara kita. Hehehe. Aku hanya tertawa dalam hati melihat sekilas wajahmu
yang memerah kuanggap saja kau sedang mengusir hawa dingin yang melekat. Aku tersenyum
menikmati rintik air yang menerjang pipiku, kadang cukup keras kadang hanya
menggelitik.
Selesai membilas badan dan berganti pakaian di
rumah, kunikmati secangkir teh di meja ruang baca. Terlintas sekilas cerita
yang baru saja kujalani. Anganku terbang, berkhayal memikirkan, andai aku punya
mobil sendiri pasti kita tidak perlu berbasah kuyup bila berkendara dikala
hujan. Spontan saja kamu tertawa, Mi!
Syukuri apa
yang kita punya, boleh bermimpi tapi juga harus berusaha. Lagi pula, bukankah
kehujan-hujanan berdua itu lebih terasa romantic?
Benar juga apa katamu, lalu kenapa tadi wajahmu
memerah ? oh, mungkin malu. Hahaha. Gumamku dalam hati. Kamu memang lucu, Mi!
Nah, setelah adzan Isya dikumandangkan, aku
beranjak menuju tempat wudhu. Melewati dapur dan ruang makan. Tiba-tiba saja
pandanganku terhenti kepada sebuah toples plastic di meja makan. Tidak terlalu
besar, hanya muat untuk satu plastic rempeyek kacang buatan mbok Ju. Tetapi
mempunyai tutup yang berbeda dari toples pada umumnya. Tutupnya terbagi menjadi
dua bagian, satu bagian memiliki engsel diujungnya, sehingga dapat
dinaik-turunkan untuk membukanya, sedang bagian yang satunya tidak. Tutup yang
punya engsel memang berukuran lebih kecil, mungkin maksud pembuatnya agar
makanan yang ada didalamnya awet tak cepat habis.
Mungkin toples itu bukan untuk makanan, kalau
untuk celengan sepertinya cocok. Ah,
sudah saatnya bergegas ke Masjid sebelum Iqomat di syiarkan. Kataku dalam hati.
Usai sholat, aku duduk di serambi Masjid bersama
beberapa orang tetangga. Hanya obrolan ringan, tapi sepertinya aku tidak connect malam itu. Kembali pikiranku terbayang toples di meja makan itu.
Mungkin memang aku harus menabung untuk
mewujudkan keinginananku. Seperti katamu Mi, harus berusaha, akan aku usahakan.
Kalau sudah terwujud, kita tak perlu lagi khawatir tentang hujan di pagi hari
ketika harus mengantar anak-anak. Atau pada sore hari ketika harus menjemut
mereka. Dan, sepertinya dengan itu kita bisa juga mewujudkan impian kita untuk
berlibur di Pulau Bali, yang katamu ingin melihat sunset dari Pantai Kuta,
menikmati udara sejuk di Kintamani, dan membuktikan apa yang dibicarakan
banyak orang, banyak media tentang mayat-mayat yang tergelatak di bawah pohon
di Trunyan. Sekali mendanyung, dua tiga pulau terlampaui. Bukankah begitu, Mi?
Aku sudah bertekad, tinggal bagaimana Allah yang
Maha Menentukan akan membantuku. Aku masuk ke dalam Masjid, mengerjakan dua
rakaat shalat dan kupanjatakan doa. Sekiranya Allah merestui langkah awalku
membahagiankanmu.
Itu awal perjumpaanku dengan toples yang
menginspirasiku. Awal dimana aku menabung untuk membeli mobil. Yah, walaupun
hanya dari selembar dua lembar uang rupiah, tapi ternyata sekarang sudah
terkumpul cukup banyak, seingatku ada sekitar dua belas juta. Tidak lama lagi
aku rasa sudah cukup untuk membeli mobil yang layak, meskipun tidak baru. Aku tak
berkata apapun padamu tentang langkahku ini. Aku akan mengatakannya ketika
semua sudah terkumpul sesuai rencana dan kamu tidak perlu repot ikut memikirkan
impianku. Orang barat bilang itu surprise.
Tinggal sebentar lagi, Mi!
Manusia hanya merencanakan. Allah lah yang
menentukan segalanya. Segalanya! Tak ada yang bisa melawan kehendak Allah yang
Maha Kuasa. Tinggal beberapa waktu saja, Mi. Terburu sekali kau meninggalkanku.
Terlalu cepat kau pergi, Mi!
Sudahlah, Allah punya rencana yang lebih indah
buatmu, Mi. Bahagialah kamu disana.
Aku akan tetap mewujudkan impianku. Mewujudkan
mimpimu, meski tidak bersamamu.
Selamat Pagi, Mi!
Kenang kau disini.
Tenang kau disana.