Saturday 21 February 2015

Surat Rinduku




Mi ? aku baru sadar, setelah sekian hari ini. Kenapa aku masih bersemangat dengan toples tabunganku. Toples plastic yang aku isi setiap hari dengan lembaran maupun koin rupiah, lalu aku setorkan kepada petugas bank yang mangkal disekitar rumah setiap kamis pagi. Tak terasa sudah hampir 3 tahun, Mi!

Aku teringat kapan pertama aku bertemu toples itu. Itu adalah hari kamis, tepatnya adzan Isya, setelah menjemputmu di tempat les kala itu. Hari itu hujan cukup deras, hingga membuat kita basah kuyup. Maklum, tanpa menggunakan payung atau mantel, kita nekat berkendara di bawahnya hanya bermodal jaket kain yang tidak terlalu tebal.
Satu hal yang cukup menggelikan adalah wajahmu yang tiba-tiba berubah merah karena marah. Marah karena aku yang melepas jaketku di tengah hujan lebat itu. 

Rupanya kamu terlalu menghawatirkanku. Tapi, kamu tak paham, betapa berat jaketku, yang sudah basah lagi menahan angin dari laju kendara kita. Hehehe. Aku hanya tertawa dalam hati melihat sekilas wajahmu yang memerah kuanggap saja kau sedang mengusir hawa dingin yang melekat. Aku tersenyum menikmati rintik air yang menerjang pipiku, kadang cukup keras kadang hanya menggelitik.

Selesai membilas badan dan berganti pakaian di rumah, kunikmati secangkir teh di meja ruang baca. Terlintas sekilas cerita yang baru saja kujalani. Anganku terbang, berkhayal memikirkan, andai aku punya mobil sendiri pasti kita tidak perlu berbasah kuyup bila berkendara dikala hujan. Spontan saja kamu tertawa, Mi!

Syukuri apa yang kita punya, boleh bermimpi tapi juga harus berusaha. Lagi pula, bukankah kehujan-hujanan berdua itu lebih terasa romantic?

Benar juga apa katamu, lalu kenapa tadi wajahmu memerah ? oh, mungkin malu. Hahaha. Gumamku dalam hati. Kamu memang lucu, Mi!

Nah, setelah adzan Isya dikumandangkan, aku beranjak menuju tempat wudhu. Melewati dapur dan ruang makan. Tiba-tiba saja pandanganku terhenti kepada sebuah toples plastic di meja makan. Tidak terlalu besar, hanya muat untuk satu plastic rempeyek kacang buatan mbok Ju. Tetapi mempunyai tutup yang berbeda dari toples pada umumnya. Tutupnya terbagi menjadi dua bagian, satu bagian memiliki engsel diujungnya, sehingga dapat dinaik-turunkan untuk membukanya, sedang bagian yang satunya tidak. Tutup yang punya engsel memang berukuran lebih kecil, mungkin maksud pembuatnya agar makanan yang ada didalamnya awet tak cepat habis.

Mungkin toples itu bukan untuk makanan, kalau untuk celengan sepertinya cocok. Ah, sudah saatnya bergegas ke Masjid sebelum Iqomat di syiarkan. Kataku dalam hati.
Usai sholat, aku duduk di serambi Masjid bersama beberapa orang tetangga. Hanya obrolan ringan, tapi sepertinya aku tidak connect  malam itu. Kembali pikiranku  terbayang toples di meja makan itu.

Mungkin memang aku harus menabung untuk mewujudkan keinginananku. Seperti katamu Mi, harus berusaha, akan aku usahakan. Kalau sudah terwujud, kita tak perlu lagi khawatir tentang hujan di pagi hari ketika harus mengantar anak-anak. Atau pada sore hari ketika harus menjemut mereka. Dan, sepertinya dengan itu kita bisa juga mewujudkan impian kita untuk berlibur di Pulau Bali, yang katamu ingin melihat sunset dari Pantai Kuta,  menikmati udara sejuk di Kintamani, dan membuktikan apa yang dibicarakan banyak orang, banyak media tentang mayat-mayat yang tergelatak di bawah pohon di Trunyan. Sekali mendanyung, dua tiga pulau terlampaui. Bukankah begitu, Mi?

Aku sudah bertekad, tinggal bagaimana Allah yang Maha Menentukan akan membantuku. Aku masuk ke dalam Masjid, mengerjakan dua rakaat shalat dan kupanjatakan doa. Sekiranya Allah merestui langkah awalku membahagiankanmu.

Itu awal perjumpaanku dengan toples yang menginspirasiku. Awal dimana aku menabung untuk membeli mobil. Yah, walaupun hanya dari selembar dua lembar uang rupiah, tapi ternyata sekarang sudah terkumpul cukup banyak, seingatku ada sekitar dua belas juta. Tidak lama lagi aku rasa sudah cukup untuk membeli mobil yang layak, meskipun tidak baru. Aku tak berkata apapun padamu tentang langkahku ini. Aku akan mengatakannya ketika semua sudah terkumpul sesuai rencana dan kamu tidak perlu repot ikut memikirkan impianku. Orang barat bilang itu surprise.



Tinggal sebentar lagi, Mi!

Manusia hanya merencanakan. Allah lah yang menentukan segalanya. Segalanya! Tak ada yang bisa melawan kehendak Allah yang Maha Kuasa. Tinggal beberapa waktu saja, Mi. Terburu sekali kau meninggalkanku. Terlalu cepat kau pergi, Mi!
Sudahlah, Allah punya rencana yang lebih indah buatmu, Mi. Bahagialah kamu disana. 

Aku akan tetap mewujudkan impianku. Mewujudkan mimpimu, meski tidak bersamamu.

Selamat Pagi, Mi!
Kenang kau disini.
Tenang kau disana.