Yanuar Putra Perdana.
Namanya keren juga ya? Dia ini
adalah bagian dari masa sekolah dasarku di SD Mugu yang sampai saat ini tetap
aku ingat sebagai kenalan pertama di SD dulu. Ya, aku masih ingat hari pertama
masuk sekolah dasar itu. Aku naik becak dari Jambu bersama ibuku tercinta.
Turun tepat didepan pintu gerbang selatan SD Muhammadiyah Gunungpring yang
bercat biru. Kemudian setelah itu, aku dan ibuku duduk disebuah bangku panjang
terbuat dari kayu tang diletakkan di bawah cendela kelas 1A. Kelas 1A berada
tepat satu langkah dari gerbang, dengan pintu kelas mengahadap ke barat.
Tidak lama kemudian, datang
seorang anak seumuranku. Kulitnya coklat, agak lebih tinggi dari aku, berjalan
menuju arahku bersama seorang ibu-ibu yang tinggi dan tentu lebih tinggi dari
ibuku, lalu mereka duduk dibangku yang sama dengan aku dan ibuku.
Pembicaraan antar ibu pun
dimulai. Bertegur sapa, lalu mengobrol. Aku hanya diam ungkang-ungkang memandangi sepatuku. Aku lupa apakah sepatuku itu
baru atau tidak. Tiba-tiba ibuku mencolekku, “Fi, kenalan sama itu sana,”, kata
ibuku sambil menganggukkan dagunya, dan memandang kearah anak disebelah ibu-ibu
itu.
Aku bangun dari duduk dan berdiri
didepan ibuku, kemudian aku mulai mencuri pandang dengan bocah laki-laki itu.
Lalu aku bersalaman dengannya. Mulai saat itulah aku mengenalnya dengan nama
Yanuar, bocah hitam yang asing.
Kebetulan aku dan Yanuar satu
kelas di kelas 1A. Kelas yang katanya angker paling anker dan menakutkan. Pernah
kejadian, waktu itu kelas kosong tidak ada yang mengajar. Tiba-tiba pintu
almari kelas yang letaknya disamping meja guru terbuka dengan mengeluarkan
suara khas, ngiiieekkkk. Kemudian
semua anak sekelas keluar kelas sambil berteriak. Yah, harus diakui bahwa
imajinasi anak sangat lucu dan aneh. Kejadian itu ternyata cukup menghebohkan,
karena satu anak perempuan harus menangis karena takut, namanya Ema, anak
perempuan Bu Eny. Dan akhirnya, Pak Deni, guru bahasa inggris sangat digemasri
anak-anak datang kekelas 1A. Aku dan teman-teman mengikuti dibelakang Pak
Deni,. Hanya masuk, menutup pintu almari, dan tersenyum. Tapi itu membuat kami
lega. Lalu Pak Deni menuju ke bangku Ema, kalau tidak salah didepan sendiri
baris nomor lima dari pintu. Didekat Ema ada Aya. Pak Deni bisa membuat Ema
berhenti menangis, lalu berlalu dari kelas kami.
Kembali ke Yanuar, meski dia
adalah kenalan pertamaku di SD, tapi dia bukan sahabat dekatku di SD. Yang aku
ingat, setiap berangkat sekolah aku emlihat dia turun dari mobil antar-jemput
berwarna putih dengan menggendong tas hitam dan didepan dadanya ada botol
minuman bergambar yang dikalungkan. Itu pasti, dan menandakan betapa ia
diperhatikan oleh ibunya. Begitu juga kalau pulang sekolah, sebelum berdoa ia
pasti sudah mengalungkannya.
Mematahkan Penggaris Kayu.
Hari itu, sepertinya hari selasa.
Aku bermain-main dengan penggaris kayu yang selalu dipakai bu guru. Saat asik
memainkannya, tanpa sengaja aku menjatuhkan penggaris kayu itu. Dan penggaris
itu pun patah, menjadi dua bagian panjang dan pendek. Kemudian aku jongkok dan
duduk dilantai memandangi dua kayu coklat yang sudah tidak utuh lagi itu.
Beberapa saat kemudian teman-teman kengerumuniku, dan besorak,
“hooosssno..
sokooorrr...hosssnonngg.. pkokmen hudu aku..” begitu seterusnya. Aku hanya
tertunduk dan sepertinya aku menangis.
Malam harinya aku mengajak Ayah
dan Ibuku untuk membeli penggaris kayu di muntilan. Ketika ditanya, aku jawab
kalo teman-teman sekelas yang memintaku untu membelinya dengan uang iuran satu
kelas. Padahal karena aku yang mematahkannya tapi aku tak berani mengatakannya
pada ibuku apalagi ayahku. Dengan uang tabunganku dari sisa uang sakuku yang
selalu aku simpan sendiri aku membeli penggaris kayu itu. Beruntung ibuku
berbaik hati dan ikut menyumbangkan uangnya, aku bilang walaupun sekedar dua
ribu rupiah pasti teman-teman akan menggantinya. Tapi sampai saat ini ibuku tak
menanyakan uang itu.
No comments:
Post a Comment